Kompas - Indonesia termasuk lima negara yang memiliki jumlah anak pendek terbanyak di dunia. Empat negara lain diantaranya adalah China, India, Pakistan, dan Banglades.
Hal itu dikemukakan Soekirman, Guru Besar Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bogor, di sela-sela acara Kongres Nutrisi Asia XI yang didukung oleh Danone, Kamis (14/3) di Singapura.
”Sebanyak 38,6 persen dari total anak balita di Indonesia
memiliki tinggi badan tidak sesuai umur,” kata Soekirman yang juga
Ketua Yayasan Kegizian untuk Pengembangan Fortifikasi Pangan Indonesia (KFI). Artinya, sekitar empat dari 10 anak mengalami kekerdilan akibat kekurangan gizi, terutama zat besi.
Kekurangan gizi berdampak dalam kecerdasan anak. Kurangnya kecerdasan
membuat anak tidak mampu meraih pendidikan tinggi sehingga produktivitas
tidak maksimal. Penelitian tentang dampak kekerdilan, kecerdasan, dan
produktivitas telah dilakukan di negara-negara Amerika Latin.
Untuk mengatasi persoalan kekurangan gizi itu, Indonesia melakukan program fortifikasi (penambahan) zat besi dan asam folat pada tepung terigu. Indonesia melalui KFI juga tengah mengkaji fortifikasi zat besi dan asam folat pada beras murah.
Kegemukan
Selain harus berjuang keras mengatasi masalah kurang gizi, Indonesia dan negara berkembang lainnya di Asia kini menghadapi tantangan baru, yaitu kecenderungan obesitas (kegemukan) pada masyarakat miskin.
Dalam Kongres Nutrisi Asia terungkap bahwa ada gejala peningkatan angka
kegemukan pada masyarakat miskin di negara- negara berkembang. Menurut
Berry Popkin, guru besar gizi dari Universitas North Carolina Amerika Serikat, saat ini di negara- negara berkembang, terutama di China, Brasil, India, juga Indonesia, terjadi transisi dari kurus ke kegemukan dan munculnya penyakit degeneratif.
Ia memprediksi pada negara yang rata-rata penduduknya berpenghasilan
2.500 dollar AS per tahun per orang terjadi kegemukan akibat perubahan
pola konsumsi dan gaya hidup. Mereka yang mengalami kegemukan lebih
banyak masyarakat miskin.
”Karena ingin bergaya hidup modern, mereka mulai mengonsumsi minuman
atau makanan enak yang manis dan berlemak,” kata Soekirman. Perubahan
pola konsumsi terjadi karena teknologi pangan kini bisa memproduksi
makanan enak dan murah. Gencarnya iklan produk makanan dan minuman di
televisi ikut mendorong perubahan pola konsumsi masyarakat miskin.
Pada kelompok masyarakat berpenghasilan lebih tinggi, jumlah kegemukan
lebih sedikit karena kesadaran akan kesehatan semakin meningkat.
Prema Ramachandran dari Yayasan Nutrisi India mengatakan, data survei
nutrisi di India menunjukkan, lima tahun terakhir mulai terjadi
penurunan angka kekurangan gizi di India. Sebaliknya, dalam dua tahun
terakhir terjadi kenaikan angka kegemukan di kalangan masyarakat miskin.
2 komentar:
wah, ngejek ni ceritanya... :D
hahhahhaa,,,ndak pak,,inikan fakta...ternyata survei mngatakan demikian.....makana qt hrs brusaha mningkatkan taraf hidup dan perbaikan generasi....
Posting Komentar