Tulisan ini ditulis sekadar sebagai wujud "KePRIHATINAN" terutama terhadap kaum yang semakin banyak menjadi korban sebagai penikmat tontonan picisan yang sekadar mengumbar kebohongan dan tujuan finansial semata. Semoga bermanfaat.....
Kita akui, tayangan televisi akhir-akhir ini cenderung kurang selektif.
Tayangan pada jam jam utama (prime time) sering menyajikan sinetron yang
mengangkat cerita kurang bermutu seperti roman picisan, intrik-intrik rumah
tangga kelas atas, kisah horor, komidi yang sedikit "syur" dan
sejenisnya. Sedangkan porsi tayangan sinetron yang secara spesial mengangkat
dunia anak-anak sering kali berisi adegan jorok, latah dan mengandung unsur
kekerasan.
Bisa dikatakan, televisi nasional belum mengakomodasi terhadap aneka
kebutuhan dan keinginan anak-anak secara sungguh-sungguh. Anak-anak seakan
dilupakan. Porsi paket acara yang dikonsumsikan untuk mereka seperti acara
permainan, pentas lagu-lagu anak-anak, kuis, cerdas cermat dan acara-acara
lain yang bersifat mendidik sudah langka, untuk tidak dikatakan sudah menghilang.
Minimnya komitmen pendidikan pertelevisian nasional sudah sepatutnya
menyadarkan para pengelola televisi. Dari sini akan lahir langkah konkret
dalam memperbaiki kualitas tayangan televisi sebagai bagian dari upaya
pendidikan moral bangsa.
Upaya memperbaiki kualitas tayangan televisi dirasakan semakin mendesak
dilakukan. Alasannya, kualitas moral bangsa saat ini sedang terpuruk yang
ditandai oleh tingginya pelaku KKN, kriminalitas dan tindakan pelanggaran
moral lainnya. Di pihak lain, peran lembaga keluarga dan lembaga pendidikan
dalam mendidik moralitas anak- anak dan remaja semakin merosot. Dalam kondisi
demikian, akan sangat kontra-produktif jika menu tayangan televisi yang
disaksikan anak-anak dan remaja bermuatan pornografi.
Oleh karena itu, sudah saatnya pengelola televisi mengkaji ulang berbagai
sajian yang ingin ditayangkan. Harapannya, mereka bisa menyajikan beraneka
acara yang sarat dengan pesan-pesan positifedukatif. Sebaliknya mengurangi
tayangan sinetron yang kurang memupuk pendidikan budi pekerti.
Dalam perspektif kesenian, tayangan sinetron merupakan hasil rekaaan
sang sutradara yang isinya tidak mesti meliput realitas empiris dari pergaulan
remaja kita sehari-hari. Meskipun demikian, sinetron akan memberi dampak
psikologis bagi para penontonnya jika ia ditayangkan oleh sebuah media
publik seperti televisi. Ia akan berdampak positif bagi pemupukan moralitas
anak-anak dan remaja jika isinya mengandung ajakan berbudi pekerti luhur,
bekerja keras, ulet, giat belajar, berdisiplin dan sejenisnya.
Pantauan Efek Film
Film Indonesia
sungguh luar biasa jumlahnya sudah membludak artinya sangat
banyak sampai-sampai tidak terhitung dalam artian dari tahun ke tahun jumlahnya
semakin bertambah. Baik itu Film Layar Lebar, Film Televisi
(FTV), Film Dokumenter, Sinetron, Film Animasi/Kartun, dan lain
sebagainya. Itu menunjukkan bahwa Perfilman Indonesia cukup sukses dalam
memproduksi ini dinilainya sebagai nilai kuantitas, bukan hanya
pergelaran seni memperkenalkan dunia perfilman semakin tumbuh meningkat dengan
adanya sarana Fakultas jurusan Perfilman, teater atau drama itu muncul
sebagai penanaman keahlian di bidang perfilman. Banyak hal lain
lagi sebetulnya yang memunculkan bakat-bakat pada bidang perfilman.
Televisi diyakini
mempunyai pengaruh yang sangat kuat karena mampu memadukan kekuatan audio dan
visual sehingga orang dapat melihat dan mendengar secara utuh dan menjadi lebih
percaya. Apa yang tampak di televisi dianggap sebagai realitas bermakna.
Beberapa ahli menunjukkan adanya potensi imitasi atau peniruan sebagai efek
segera yang sering muncul di masyarakat atas tayangan kekerasan di televisi.
Sedangkan efek jangka panjang adalah berupa habituation, yaitu orang menjadi
terbiasa melakukan apa yang dilihatnya di televisi. Akibatnya orang menjadi
tidak peka, permisif, dan toleran terhadap kekerasan itu sendiri. Wirodono
(2005) menyorot televisi karena mempunyai pengaruh buruk, terutama terhadap
anak-anak. Wirodono mengutip data penelitian di Amerika bahwa anak di bawah dua
tahun yang dibiarkan orangtuanya menonton televisi bisa mengakibatkan proses
wiring, yaitu proses penyambungan antara sel-sel saraf dalam otak menjadi tidak
sempurna. Padahal anak-anak yang menonton televisi tidak selalu mempunyai
pengalaman empiris sehingga gambar televisi mengekspolitasi kerja otak
anak-anak karena virtualisasi televisi yang meloncat-loncat sehingga mengganggu
konsentrasi mereka. Begitu besarnya pengaruh TV terhadap anak-anak,
sampai-sampai pendiri organisasi Action for Children Television, Peggy Chairen (Kristanto,
2008), memperingatkan bahwa tidak banyak hal lain dalam kebudayaan kita
yang mampu menandingi kemampuan TV yang luar biasa untuk menyentuh anak-anak
dan mempengaruhi cara berpikir serta perilaku mereka. Garin Nugroho (2005)
menyebutkan bahwa televisi adalah refleksi ekosistem kehidupan suatu
bangsa. Besarnya pengaruh itu, kata psikolog UI Prof Dr Fawzia Aswin Hadis
(Republika, 5/6/2005), karena anak-anak memang berada pada fase meniru.
Anak-anak adalah imitator ulung, dan karena itu akan cenderung meniru adegan
yang ditonton di TV.
Masalahnya adalah
sejauhmana dampak tayangan televisi tersebut berpengaruh terhadap terhadap
perilaku masyarakat khususnya anak-anak. Untuk membuktikan kebenaran ini memang
relatif sulit, karena perilaku anak (remaja) anak sangatlah komplek dan
dipengaruhi oleh banyak faktor. Hasil studi yang dilakukan di Amerika Serikat
tahun 1972 dikeluarkan laporan berjudulTelevision and Growing Up; The Impact
of Televised Violence (dalam Dedi Supriadi, 1997) menunjukan gambaran
bahwa korelasi antara tayangan tindakan kekerasan di televisi dengan perilaku
agresif pemirsa yang umumnya anak muda ditemukan taraf signifikansinya hanya
0,20 sampai 0,30. Tingkat signifikansi sangat rendah ini tidak cukup menjadi
dasar untuk menarik kesimpulan yang meyakinkan mengenai adanya hubungan
langsung antara keduanya. Ini berarti tayangan tindakan kekerasan bisa saja
berpengaruh terhadap sebagian penonton dan dapat juga netral atau tidak
mempunyai pengaruh sekalipun.
Barangkali,
masalahnya tidak mengkhawatirkan jika yang ditiru adalah adegan dan perilaku
yang positif. Tapi, kenyataannya, justru bukan perilaku positif yang menarik
bagi anak-anak dan menebar di layar TV. Penelitian Sri Andayani & Suranto
(1997) terhadap film-film kartun Jepang Sailor Moon, Dragon Ball dan Magic
Knight Ray Earth menunjukkan lebih banyak adegan anti sosial ketimbang adegan
pro sosial (58,4% : 41,6%). Temuan diperkuat oleh studi YKAI yang mendapati
adegan anti sosial lebih dominan (63,51 %). Bahkan adegan-adegan anti sosial
pula yang banyak didapati pada film-film kartun anak-anak yang sedang populer
saat ini, seperti Sponge Bob Square Pans dan Crayon Sincan.
Hal ini diperparah
dengan adanya persaingan di antara stasiun televisi kini semakin ketat sehingga
mereka bersaing menyajikan acara-acara yang digemari penonton, bahkan tanpa
memerhatikan dampak negatif dari tayangan tersebut. Padahal penonton televisi
sangatlah beragam, di sana terdapat anak-anak dan remaja yang relatif masih
mudah terpengaruh dan dipengaruhi. Sementara itu para orang tua terus sibuk
dengan pekerjaannya masing-masing, tanpa memperdulikan kondisi yang tengah terjadi
antara televisi dan anak-anaknya sehingga banyak muncul cerita sinetron kita
yang tidak menggambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat kita (Tini Hadad,
1997).
Film sendiri itu
punya nilai negatif dan positif yang bisa timbulkannya sebagai
efek yang tanpa disadari oleh pemirsa/penontonnya. Jangan beranggapan itu hanya
film sebatas hiburan, dan efeknya tidak ada, teori yang salah sebab dari hasil
analisa Adamssein efek pada sebuah film lebih berbahaya sebagai sugesti
tidak langsung sebab bisa ditanamkan ke dalam bawah sadar pemirsa/penontonnya
artinya pengaruh baik buruknya tanpa disadari sudah melekat pada kejiwaan
individu hal inilah yang perlu digarisbawahi jika menonton
film baik buruknya itu ada tentu hal ini harus mengerti setidaknya tentang
nilai baik buruk sesuatu agar bisa membedakan dan memilih dengan cerdik sebab
baik buruknya film yang ditonton akan kembali efeknya ke orang yang
menontonnya. Sepenuhnya, yang bertanggungjawab atas segala sesuatu
adalah kita sendiri, kita tidak bisa menyalahkan orang lain, tidak ada yang mau
menanggung dosa kita, sebab kebanyakan film-film yang dihasilkan itu lebih
menitikberatkan pada kuantitasnya bukan pada kualitasnya.
Contoh Kasus:
Sering Nonton Film
Porno, Bocah SD Perkosa Tetangga. LUMAJANG - Akibat sering nonton film porno,
seorang bocah sekolah dasar di Lumajang, Jawa Timur, memperkosa anak sebayanya
yang mengalami keterbelakangan mental. Parahnya, bocah yang diperkosa saat ini
tengah hamil 6 bulan. W (12) tahun, bocah yang masih duduk di bangku kelas enam
SD Sumber Wuluh Negeri 05, Kecamatan Candipuro, hanya bisa diam saat dibawa ke
Mapolres Lumajang. Dia diperiksa atas dugaan pemerkosaan terhadap EA (15), yang
tak lain tetangganya sendiri. Di hadapan polisi, W mengakui kalau dia yang
telah memperkosa sebanyak tujuh kali di rumah korban. Saat itu kondisi rumah
korban sepi. W mengaku nekat melakukan aksi bejatnya karena pengaruh sering
melihat film porno. Di ruang unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) korban
yang hanya menamatkan sekolah hingga kelas 4 SD ini, mengaku jika yang
menghamili dirinya adalah W. Kapolres Lumajang AKBP Tejo Wijanarko, dalam
keteranganya menjelaskan, terungkapnya kasus pemerkosaan ini bermula dari
kecurigaan keluarga yang mendapati adanya perubahan sikap dan perut korban. W
saat ini masih dalam pemeriksaan Polres Lumajang.
(Cucuk
Donartono/RCTI/ton dikutip dari:
http://hileud.com/hileudnews?title=Sering+Nonton+Film+Porno,+Bocah+SD+Perkosa+Tetangga&id=551708).
Hobi Nonton Film
Porno, Pedagang Gauli Siswi SD. Tuban - Gara-gara hobi nonton film porno, Ahmad
Budianto (35) asal Soko, Kabupaten Tuban, harus mendekam di Polres Tuban. Bapak
dua anak ini tega mencabuli bocah bau kencur, Haeny (6) setelah nonton blue
film dari HP-nya, Kamis (13/1/2011). Informasi yang dihimpun menyebutkan,
perbuatan tak senonoh dilakukan Budianto, setelah pulang dari pasar berjualan
mainan. Seperti kebiasaan sehari-hari dia lantas melihat BF dari HP. Bersamaan
itu Haeny yang masih kelas 1 SD bermain di depan rumahnya. Mendengar ada suara
anak perempuan bermain di depan rumah, dia langsung mematikan film dari HP-nya.
Ia pun langsung memanggil sang bocah malang itu. Dengan iming-iming akan diberi
mainan, sang bocah menurut diajak masuk ke kamar. Setelah itu, terjadilah perbuatan
layaknya adegan suami istri. Usai kejadian sang bocah pulang. Tak lama kemudian
menceritakan kejadian yang menimpa kepada orangtuanya. Dengan hati berang
memendam amarah, keluarga Haeny mencari Budianto. Sayangnya ia telah kabur dari
rumah. Selanjutnya tragedi itu dilaporkan ke Polsek Soko. Polisi langsung
melakukan pengejaran terhadap Budiono. Budiono pun akhirnya ditangkap saat
bersembunyi di rumahnya. Kepada petugas yang memeriksanya, Budianto mengakui
perbuatannya. Dia akui pula jika perbuatan tak senonoh itu terpaksa dilakukan
setelah melihat film porno dari HP. Secara terpisah, Kasubbag Humas Polres
Tuban AKP Noersento menyatakan, sebelumnya tersangka sempat sembunyi namun
berhasil tertangkap petugas. "Tersangka kini diamankan di Mapolres
Tuban dengan dijerat pasal 82 UU perlindungan anak nomor 23 tahun 2002. Ancaman
hukumannya maksimal 15 tahun penjara,"kata Nursento, di Mapolres Tuban
Jalan Wahidin Sudirohusodo-Tuban. (TB Utama – detik Surabaya dikutip dari
http://hileud.com/hileudnews?title=Hobi+Nonton+Film+Porno,+Pedagang+Gauli+Siswi+SD&id=510850)
Dokter spesialis
kejiwaan RS Theria, Asianto mengatakan, tontonan seperti film kekerasan dan
film porno sangat mempengaruhi perkembangan psikologi anak. “Apa yang
mereka lihat dari tontonan itu terekam dan sewaktu-waktu mereka praktikkan
seperti yang mereka lihat dalam adegan film itu. Dan ini sangat berbahaya bagi
si anak itu sendiri karena bisa terjerumus dalam pergaulan yang salah,” terangnya
kepada Jambi Independent (20/11/2008).
Terdapat beberapa
undang-undang yang mengatur penyiaran yaitu pada P3/SPS (Pedoman Perilaku
Penyiaran dan Standar Program Siaran) yang dikeluarkan oleh KPI. Beberapa pasal
yang berhubungan dengan siaran yang bersifat kekerasan yang berdampak pada anak
adalah pasal 32 ayat 1 dan pasal 35. Pasal 32 ayat 1 berisikan tentang program
yang mengndung muatan kekerasan secara dominan, atau mengandung kekerasan
eksplisit dan vulgar, hanya disiarkaan pada jam tayang di mana anak-nak pada
umumnya diperkirakan sudah tidak menonton televisi, yakni pukul 22.00-03.00.
Sedangkan isi pasal 35 adalah dalam program anak-anak, kekerasan tidak boleh
tampil secara berlebihan dan tidak boleh tercipta kesan bahwa kekerasan adalah
lazim dilakukan dan tidak memiliki akibat serius bagi pelakunya (Komisi
Penyiaran Indonesia dalam Mufid, 2005).
Adanya
undang-undang dari KPI tersebut ternyata tidak berpengaruh terhadap penayangan
film kartun yang mengandung kekerasan. Tayangan tersebut masih bebas
ditayangkan. Hal ini memeperkuat teori freud bahwa hanya orang tua yang sangat
berperan untuk membentuk dan mengendalikan moral anaknya dengan cara
mendampinginya pada saat menonton tayangan tersebut.
Pantaslah saja,
ada istilah sensor dalam dunia perfilman, berfungsi untuk menghilangkan
sesuatu yang tak layak didengarkan atau ditonton oleh pemirsa sesuai norma
susila, norma adat, norma agama, norma lainnya pada dasarnya semua itu
Produser Film sendiri lebih mengembalikan artinya lepas tangan terhadap efek
yang timbulkan oleh filmnya tersebut seringkali hanya memikirkan
keuntungan-keuntungan (rating, nilai ekonomis, dan jasa memberi hiburan) itulah
yang dipikirnya sehingga dalam kualitas terabaikan akhirnya efek buruk yang
tidak terkendali akan menuju pada pemirsanya. Sudahlah jelas,
pemirsa/penontonlah yang harus pintar-pintar memilih film yang ditayangkan oleh
televisi ataupun film yang ada di dunia maya (internet), jika tidak efek yang
timbul menjadi tanggungjawab pemirsa masing-masing sangat disayangkan bukan
tapi itulah kenyataan yang harus diterima. Cobalah teman-teman perhatikan,
Firman Allah ini:
Dan janganlah kamu
mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan
jawabnya.
(QS. Al Israa'
(17): 36)
Ciri Film Berkualitas dan Tidak Berkualitas
Nah, yang menjadi pertanyaan sekarang, Ciri Film Berkualitas Berbagai Sudut
itu bagaimana?
Menurut Drs. A. Sutrisna Sobandi, MM (Aktris yang mengiklani Axis
dibulan puasa Ramadhan 2010 sekaligus dosen di STKIP PGRI Sukabumi), beliau
mengatakan: Pertama, Kualitas Film itu dilihat dari Esensi
(Misalnya: dilihat dari latar belakang cerita, misi visi film yang dibuat,
sutradara, lokasi syuting dimana, pemain utama dan pemain pembantunya siapa
jika pemain berkualitas, dan semua hal itu berkualitas maka film itu bisa
disebut berkualitas). Kedua, dilihat dari Nilai Jual (Ekonomi)
ditentukan di pasaran sering diputar di bioskop-bioskop dan jumlah penonton
banyak barulah dikatakan film itu berkualitas, tapi perlu diingat film yang
bernilai jual tinggi belum tentu berkualitas secara esensi. Bisa saja film yang
berbau mistik dan porno lebih laris di pasaran tapi film yang berbau religius
tidak laku di pasaran. Malah film yang berkualitas itu film yang secara esensi
(keberadaannya) memang mempunyai dampak positif bagi penontonnya.
Sedang penulis menyimpulkan lebih baik menilai secara esensi film apa yang
digarap. Sesuatu yang berkualitas itu memiliki nilai-nilai tersendiri. Nilai
yang dimaksud disini itu antaranya: (1) Nilai Kemanusiaan, (2) Nilai
Keagamaan, (3) Nilai Persahabatan, (4) Nilai Pendidikan (Edukasi), (5) Nilai
Pengalaman.
Film yang tidak berkualitas, diantaranya:
Nilai Seksual, Nilai Hiburan, Nilai Gaya Hidup, dan Nilai Romantika.
Film-film tersebut harus dianalisa terlebih dahulu disebabkan mengandung
dua sisi negatif dan positif, kurang penyensoran yang pada akhirnya pemirsa
harus lebih selektif dalam menonton sebab bisa menjadi tanggungjawab pribadi
masing-masing dengan efek yang ditimbulkannya, sedang efek disini juga meliputi
baik buruknya, tinggal pilih mana yang baik maka jadikan pembelajaran, sedang
yang mana yang buruknya harus dihindari dan ditinggalkan agar tidak mempengaruhi
perilaku dan moral kita. Sebab hal yang berbahaya itu adalah perihal yang tanpa
disadari namun kekuatan efeknya bisa merasuki sifat dan kepribadian.
Berhati-hatilah!
Selanjutnya, kita akan bahas satu persatu untuk mengkajinya lebih dalam
agar benar-benar paham, biar tidak ada kesimpangsiuran makna ataupun salah
penafsiran untuk itu kita simak dengan seksama.
Film Nilai Kemanusiaan
Film Nilai
Kemanusiaan mempunyai arti: Film yang berisikan sifat menolong terhadap
sesama, meringankan beban derita orang lain, kerja sama ataupun bergotong
royong dalam menjalankan pekerjaan berat, dan lain sebagainya.
Contoh
Acara Filmnya:
Pengabdian yang
ditayangkan TransTV, Bedah Rumah yang ditayangkan RCTI, Jika Aku Menjadi yang
ditayangkan TransTV, dan lain sebagainya.
Film Nilai Keagamaan
Film Nilai
Keagamaan mempunyai arti: Film yang berisikan pesan nilai keagamaan berupa
tausiyah, renungan, ceramah, diskusi tanya jawab persoalan tentang agama Islam,
dan hal lainnya.
Contoh Acara
Filmnya:
Mamah Dedeh dan
Aa yang ditayangkan Indosiar, Islam itu Indah yang ditayangkan TransTV,
Pengajian H. Yusuf Mansur dan KH. Arifin Ilham yang ditayangkan MNCTV, Islam
KTP yang ditayangkan SCTV.
Film Nilai Persahabatan
Film Nilai
Persahabatan mempunyai arti: Film yang menampilkan nilai persahabatan
seperti; solidaritas (kesetiakawanan), persamaan hak, dan sebagainya.
Contoh Acara
Filmnya:
Arti Sahabat yang
ditayangkan Indosiar.
Film Nilai Pendidikan (Edukasi)
Film
yang menampilkan resiko mengendara mengebut dan mengalami kecelakaan kemudian
ada pengarahan seorang yang menjelaskan tentang Undang-Undang Tata Tertib Lalu
Lintas.
Film Nilai Pengalaman
Film
yang memberi pengalaman bagi presenternya yang menjadi pengetahuan bagi
penontonnya, misalnya: Petualangan Panji di GlobalTV, Pepy The Explorer di
TransTV, Pengabdian di TransTV, dan masih banyak lagi.
Film Nilai Seksual
Film Nilai Seksual mempunyai arti: Film yang menampilkan adegan atau aktifitas seksual
kelas ringan (ciuman, gandengan tangan, berpelukan) atau kelas berat
(terjadinya hubungan intim antar alat kelamin). Biasanya, Seksualitas ini
menjadi bumbu bagi film-film yang dipasaran kurang bersahabat seringkali
menonjolkan hal-hal terlarang untuk membuat laku film tersebut. Biasanya Film
Samurai dari Jepang, atau Film Horor produksi Indonesia, ataupun Produksi
Asing.
Contoh Acara
Filmnya:
Film Red The Dragon didalamnya terdapat aksi samurai bersifat menampilkan
kekerasan, sayangnya di menit-menit tertentu ada aktifitas yang dilihatkan hal
ini jadi bumbu penyedap, sayangnya tidaklah mendidik malah sebaliknya
penjajahan nilai moral dan nilai susila.
Film Nilai Hiburan (Entertaiment)
Film Nilai Hiburan
(Entertaiment) mempunyai arti: Film yang memiliki daya menghibur memberi
alternatif untuk menghilangkan kejenuhan dan meredakan sejumlah permasalahan
dengan tertawa atau hanya cukup dengan senyum. Umumnya: Film Kartun dan Film
Komedi.
Contoh Acara
Filmnya:
Sketsa yang
ditayangkan TransTV (sayangnya dipandang dari segi lain: tidaklah
mendidik, sebab melakukan perbuatan mustahil yang kerapkali dilakukan
sebagai contoh: loh kok mandi di dalam bis, loh kok masak nasi sampai-sampai
kompornya dibawa ke kasur saking malasnya berpikir, dan sebagainya, jika ini
terjadi di dunia nyata sungguh tidaklah positif, pemain-pemain dalam film
tersebut pastinya melakukan semua itu atas tuntutan skenario tidaklah mungkin
dibawa ke pribadi dunia nyatanya). Polisi 86 yang ditayangkan TransTV, Opera
Van Java yang ditayangkan Trans7, SpongeBob yang ditayangkan GlobalTV, Doraemon
yang ditayangkan RCTI, dan masih banyak lagi tanpa disadari hal itu bisa contoh
baik atau buruk tergantung pada acara hiburan yang ditampilkan.
Film Nilai Gaya Hidup
Film yang berisi gaya
hidup, jalan yang dipilih oleh seseorang dalam menceritakan kebiasaan kehidupan
sehari-hari seringkali glamour (bermewah-mewahan).
Contohnya: Film
yang ada di lokasi diskotik dengan clubbing, wanita-wanita berbusana minim ke
atas atau minim ke bawah tergantung yang ditampilkannya. Pesta-pesta bergaul
bebas antara cewek dan cowok. Memakai barang-barang mahal kemudian
menunjukkannya pada orang yang melihatnya ini pengaruh dari film semacam itu.
Film Nilai Romantika
Film yang berisi
percintaan seringkali picisan, hanya menampilkan busana minim, pacaran sebelum
menikah, dan hal lainnya. Malah seakan-akan pacaran itu jadi budaya modern,
nyaris anak kawula muda pun terhipnotis oleh pengaruhnya mengganggap jomblo itu
tidak laku dan sebagainya, padahal pacaran itu belum tentu jodohnya pasti ada
perpisahannya disebabkan belum ada kesadaran tanggungjawabnya, disinilah
pacaran jadi budaya dan perlu untuk diluruskan.
Kesimpulan:
Televisi diyakini
mempunyai pengaruh yang sangat kuat karena mampu memadukan kekuatan audio dan
visual sehingga orang dapat melihat dan mendengar secara utuh dan menjadi lebih
percaya. Apa yang tampak di televisi dianggap sebagai realitas bermakna.
Beberapa ahli menunjukkan adanya potensi imitasi atau peniruan sebagai efek
segera yang sering muncul di masyarakat atas tayangan kekerasan di televisi.
Sedangkan efek jangka panjang adalah berupa habituation, yaitu orang menjadi
terbiasa melakukan apa yang dilihatnya di televisi. Akibatnya orang menjadi
tidak peka, permisif, dan toleran terhadap kekerasan itu sendiri.
Ya, memang dari
apa yang dilihat dan didengar yang ditayangkan oleh televisi itu bisa
menjadi contoh perilaku yang kerapkali ditiru oleh pemirsa/penontonnya
tanpa disadari hal itu, jadi pemain film itu punya tanggungjawab moral kepada
perihal yang diikuti. Sebab banyaknya, pemirsa itu mengikuti atau meniru
hal-hal yang bersifat negatif malah film itu dijadikan pembenaran dalam berbuat
aneh, keonaran, dan hal lainnya. Padahal seharusnya yang perlu ditiru itu
positifnya, sayangnya individu pemirsa itu kurang memahami nilai-nilai film
berkualitas itu seperti apa. Tidak semua nilai dalam film berkualitas,
diantaranya yang tidak berkualitas hanya mementingkan nilai kuantitas: Film
Nilai Seksual, Film Nilai Hiburan, Film Nilai Gaya Hidup, Film Nilai
Romantika, film-film tersebut perlu dianalisa lebih lanjut sebab masih
mengandung pula nilai negatif sehingga harus adanya dasar ilmu kejiwaan untuk
menganalisa film-film tersebut.
Film mana yang
buruk dan baik secara psikologis (kejiwaan) haruslah jadi patokan dalam
mengukur kualitas sebuah film yang ada ataupun film yang dihasilkan, sebab jika
menyimpang atau berlawanan dengan ilmu kejiwaan pastinya dampak negatif film
bisa jadi tidak terbendung akhirnya mempengaruhi pola pikir dan pola tindak
seseorang. Sebab efek film itu menjadi bahan tiruan dalam berpikir maupun
bertindak jika tontonan itu dikatakan negatif tetap saja ditonton akhirnya
sifat negatif pada pemain film tersebut akan menular tanpa disadari. Disitulah,
perlunya pengawasan orangtua maka Film pun ada label BO (Bimbingan OrangTua), R
(Remaja), D (Dewasa), kalau label Dewasa itu yang bertanggungjawab adalah
pemirsa dirinya sendiri sebab potensi film dipenuhi kekerasan, konflik internal
dan eksternal cenderung didramatisir.
Film yang ditonton
biasanya akan dibayang-bayangkan terlebih dahulu bagaimana jika saya menjadi
dia dalam film itu atau ini, pada akhirnya jika bayangan itu negatif akan
sangat berbahaya, misalnya menonton Porno seakan-akan dibayangkan jadi
pemainnya, setelah rasa penasaran menguasai dirinya pasti akan mencoba adegan
yang ada dalam film porno tersebut dengan maksud ingin menikmati seperti dalam
film porno tersebut. Untuk itulah, perlu hati-hati dengan yang namanya
berangan-angan sebab bisa menaikkan porsi nafsu dan ego yang akhirnya berani
berbuat nista, nekad, bangga berbuat maksiat, dalam hal lain yang sangat buruk.
Saran
Harus tau dulu
terlebih dahulu dampak-dampak film yang ditontonnya, dengan ketelitian pasti
dampak negatif film bisa diatasi. Jika masih bingung, terhadap dampak sebuah
film silahkan tanyakan kepada Psikolog atau Psikiater, atau boleh sharing dengan
penulis. Banyak-banyaklah bertanya agar dampak buruk film tidak terlalu
mempengaruhi.
Sebelum menonton
baca-bacalah tentang Review atau Resensi Film, agar kita tau betul arah
ceritanya seperti apa, sehingga bisa menentukan apa film tersebut perlu
ditonton atau tidak jika iya dan bisa maka tontonlah.
Sebagai bahan
Resensi Film dari situs-situs ini:
http://downloadfilem.com
http://indosubtitle.com
http://subtitlesbox.com
http://mysubtitles.org
http://opensubtitles.org/id
http://subscene.com
http://alfamovie.com
http://movieku.tk
http://duniaboxofffice.com
Semoga artikel ini memberi
manfaat lebih terhadap pembaca.
26 komentar:
Supel sekali ibu, mengupas permasalahan secara sistematik. Ini merupakan fakta yg terjadi di negara kita, dan terjadi pembiaran oleh para sineas2 indonesia, karena hanya mencari keuntungan semata (kejar tayang) tanpa mempertimbangkan efek-efek yang ditimbulkan.
Saya 100% sependapat dengan ibu..
yuph,,saya setuju pak,,kalo yang ahli di bidangnya saja sdh membiarkan terjadinya degradasi kualitas maka penikmat nya pun tanpa sadar jg mngalami degradasi yg lbh parah lagi.....thanks coment nya pak.......
Padahal sudah ada KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) dengan slogan Jadikan Penyiaran Indonesia yang Sehat, Bermanfaat, dan Bermartabat. Tapi kalo semua kebijakan KPI bisa diperjulbelikan oleh materi, maka saja bohong.
Lebih baik dilakukan moratorium artis2 sinetron kejar tayang bu, hehe
kalo mnurut saya cara plg efektif saat ini adalah dengan menggiring opini masyarakat ke arah real disertai bukti2 yg jelas,krn fungsi media sbg kontrol sosial...shga masyarakat bs mnyadarinya dan kemudian memilih acara yg berkualitas pak....yg sy yakin bapak pasti sdh menerapkanya terlbih dahulu :)
kalo artis dimoratorium nanti smakin byk pngangguran,,repot jg negara pak,,hehhehee
Kalo menurut hemat saya ibu, menggiring opini masyarakat untuk bersikap selektif dalam memilih tontonan tv sangat tidak efektif karena peluang keberhasilannya cuman 0,0025 % bu. Hal ini disebabkan konsepsi gaya menonton mayoritas masyarakat Indonesia beraspek komunalistik publik, artinya semua yang ditonton adalah acara tv yang nantinya bisa menjadi buah bibir ketika berkumpul dlm unit-unit aktifitasnya, sehingga semua yg menjadi tontonan menjadi pembicaraan publik yg tak kan ada habisnya untuk dikupas dari berbagai macam pandangan masyarakat yg menonton.
Solusinya berada di Kementerian Informasi dan Komunikasi, untuk menjadi filter yg baik dan benar bu..
hehhehee,,sdikit skali atuh keberhasilannya ya.....
yuph,,,sy stuju jg pak,,,smoga yang berwenang mngurusinya bs mnemukan langkah efektif dlm pnyelesaiannya....
wah,,knapa mnonton hanya sbg sarana untk mncari bahan buah bibir ya,,,pdhl byk manfaat lainya juga.... :)
Itu akibat dari peradaban bangsa Indonesia yg melompati peradaban menulis dan langsung menuju peradaban berbicara dan peradaban menonton. Jangan salah kalau beginilah hasilnya. Akibat dari dasar kehidupan berbangsa yang amburadul, membuat kehidupan masyarakat Indonesia yang bisa dibilang "kacau balau".
Tapi walau bagaimanapun rusaknya kehidupan bangsa ini, kita tak boleh menambahkan beban yg tramat berat dipikul oleh Ibu Pertiwi.
Ringankanlah bebannya dimulai dari kehidupan kita, dan bisa mempengaruhi lingkungan sekitar agar berubah ke arah yang lebih baik dan benar. :)
Asikkkkk,,,berati bapak ready to be a new one dr skarang ya,,saya setuju pak..... ^_^
Seperti iklan anti korupsi versi Partai Demokrat, maka di semua warga blok II B jg memakai slogan yg sama : "Katakan TIDAK pada sinetron!!", haha
kalo bgtu sedikit sy tambahkan iklanya pak,, STOP Pembodohan melalui sinetron...hehehehe ^_^
Berarti nti iklannya saya memerankan seperti "AU", dan ibu yg memerankan tokoh "AS" pada iklan tsb, untuk berkata :" Katakan TIDAK untuk sinetron!". haha...
hahahhaa,,alih profesi dunk nanti pak,,trs bagaimana nasib drpd para bintang iklan yg sesungguhnya....
Iya juga ibu e, nti mengambil jatah para artis ecek2 lagi, hehe
Nti bisa menambah angka pengangguran lg bu.
Kalo bgtu jgn pak,,,qt ckp mengabdikan diri jd public servant saja,,hehhehee ^_^
Tapi jgn jadi public servant yg bersandiwara sperti sinetron2 itu y bu, kasihan rakyatx, hehe
hehehee,,ndak atuh pak,,,ya wlwpn dr desa qt msh punya idealisme ko :)
sipppp, LANJUTKAN ibu!!! :p
mmm......"Lebih cepat lebih baik" hahhahhahhaa..... :p
mau juga "Lebih cepat lebih baik", tapi kalah ibu, hehe
tenang bapak,,kalo di F-1 kan baru 1 lap,,,masih ada 7 lap tersisa,,hehhehe,,so keep a fight....
Mobil saya settinganx belum dapat yg trbaik, jd masih berkutat di garis belakang ibu.
tak apa pak,,,bru pmanasan sesi latihan nanti kalo sdh racing sy yakin bpk digarda terdepan,,sperti yg bapak lakukan stiap hari dikelas *_^
Saya hanya di garda di depan kalo di dalam Showroom ibu, tapi kalo di lintasan parah ibu, hehe :p
mmmm...so low profile......tapi spertina semester ini bapak mlakukan significant progress utk mnjdi terdepan di showroom,lintasan dan bahkan podium,,,hehhehehe :)
Kalo podium masih susah ibu, karena saya masih berkonsentrasi untuk memangkas waktu yang besar dengan juara dunia. Performa saya bagus pada waktu sesi latihan, tetapi pada waktu perlombaan performa saya jauh di bawah harapan ibu.
Makax saya membutuhkan masukan dan motivasi dari ibu, :)
tenang bapak,,latihan adalah bagian dr kesuksesan,,sy yakin ko suatu saat bapak jg akan naik podium,,tgl mengasah sdkit potensi lagi,,keep fight ya...:)
Posting Komentar